Selasa, Februari 12, 2008

Renungan

Ambillah Waktu Untuk Menangis

Terkadang, target-target pencapaian dakwah ini beririsdan sangat besar dengan kenikmatan dunia. Ia bisa mewujud kedalam kekuasaan, jabatan, dan kelapangan harta. Mengelola dakwah untuk pencapaian tersebut, diartikan dengan pola kerja rapi, terstruktur, tepat waktu, dan sesuai dalam reward. Lalu perlahan-lahan kita terjebak dalam konteks kerja, dan terlepas dari konteks dakwah. Lepas dari konteks dakwah bukan dalam hal substansial, melainkan dalm hal operasional.

Budaya kerja dakwah, masih sering terjebak dalam “SKS” ( Sistem Kebut Sesa’at). Ketika waktu tersisa singkat, kesadaran untuk mengejar target lahir mendesak. Akhirnya kerja meninggalkan kerja serabutan, tambal sulam, dan tergesa-gesa.Pada saat seperti itu, amal jama’I adalah pemahaman tanpa makna. Kerja dakwah sangat berorientasi target pencapain dan miskin taushiah. Perlahan-lahan hati menjadi gerah, dan akhirnya miskin sentuhan dan kepekaan.

Realita dakwah mengambarkan kenyataan yang konyra produktif terhadap sunnatullah-Nya. Seharusnya seorang yang aktif dan memilki mobilitas dakwah yang dinamis, semakin menikmati kedekatannyadengan Allah SWT. Semakinlembut hatinya da semakin kuat ukhuwahnya. Di lapangan, kondisi yang terjadi justru terbalik. Mobilitas dakwah yang kita punya, mengurai jarak antara kita dengan ikhwah. Dinamika kita yang sedemikian pesat, menumpulkan hati dan perasaan dari getar kelembutan. Mata kita yang terjag karena amanah, semakin kering dan tak mampu menangis lagi. Hal ini harus membuat kita mengevaluasi kembali, apakah dakwah yang kita usung ini? Untuk siapakah semua ini kita korbankan ?

Peralihan dakwah dari mihwar ke mihwar, menyisakan pertanyaan tentang kesiapan kita akan fitnah yang akan ditimbulkannya. Sosok utama. Umar bin Khatab ra, menangis tersedu-sedu, membayangkan kekuasaan dan kejayaan Islam ketika Persia ditaklukkan. Bukan karena nahagia kan kemenangan, melainkan khawatir akan kelalaian para da’I mujahid karena kekuasaan dan kekayaan. Jika sahabat mulia ynag terjamin keimanan dan pengorbanannya untuk dakwah Islam, mengambil waktu untuk menangisi dirinya dan ummat yang dimudahkan Allah dalam kemenangan, maka bagaimanakah lagi kita ? Kita belum lagi membuktikan ketsiqohan kita kepada Allah, Islam, dan Dakwah. Kita masih sering menakar amanah dakwah kita dengan kepentingan dan kebutuhan hidup. Kita masih sering lalai dengan jadwal dan bekerja serabutan. Kita masih sering menakar-nakar amanah dakwah yang kita lakuakan. Tentunya kitalah yang paling layak untuk menangis.

Sesungguhnya para penghuni syurga, ari kalangan sahabat yang Rasulullah kabarkan, adalah sosok-sosok lembut yang mudah berurai air mata. Jika masih mereka menjadi contoh hidup perjalanan dakwah kita, maka mari melihat kelemahan diri kita masing-masing. Asesungguhnya mereka menghabiskan waktu hidupnya lebih banyak dari yang mampu yang kita sumbangkan untuk dakwah. Mereka membelanjakan hartanya lebih banyak dari kita. Mereka lebih mempunyai loyalitas yang lebih luar biasa dari kita.

Jika kita tidak mampu mengeja semua keutmaan mereka. Maka minimal, ambillha waktu menangis. Semoga Allah Menyayangi kita yang mengakuyi kelemahan dan kelalaian yang banyak. Semoga Allah merahmati kita dengan air mata ketulusan. Semoga Allah menjadikan mata dan airnya sebagai saksi taubat dan penyerahan diri kita. Wallahu’alam. •Asad_49214.red

Tidak ada komentar: